BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Seperti realita hidup
yang kita lihat jaman sekarang banyak orang yang hidup di luar aturan atau
suatu ketetapan hatinya, suatu kehidupan
yang tidak sesuai dengan ketetapan syariah islam itu sendiri jika akiqah kita jelek, maka
akan merusak pula tingkat keimanan dan ketakwaan kita pada ALLAH SWT.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
Jelaskan apa yang di maksud dengan IBADAH dan MUAMALAH ?
2.
Jelaskan apa tujuan dari IBADAH ?
3.
Berikan penjelasan tentang hikma pelaksanaan dua kalimat syahadat ?
1.3 TUJUAN MASALAH
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini selain sebagai tugas mata kuliah stadi islam, saya berharap dengan adanya
makalah ini dapat menjadi sebua tolak ukur kepada kita semuah agar bias lebih
mengerti dan meningkatkan pemahaman kita tentang syariah yang lebih luas dan
menambah pengetahuan kita tentang ruang lingkup syariah itu sendiri
BAB II
PEMBAHASAN
A. IBADAH
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti
merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah
mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara
lain adalah:
1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui
lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan
tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling
tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai
Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang
bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.
terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan
anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta),
tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah
qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid
dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan
hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah
(fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan
dengan amalan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan
manusia. Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
مَا أُرِيدُ
مِنْهُم مِّن
رِّزْقٍ وَمَا
أُرِيدُ أَن
يُطْعِمُونِ إِنَّ
اللَّهَ هُوَ
الرَّزَّاقُ ذُو
الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah
Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat:
56-58]
Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia
adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan
Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang
membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa
yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah
kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah
mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya
dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang
mengesakan Allah).
PILAR-PILAR UBUDIYYAH YANG BENAR
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan
pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).
Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi
dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah
berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]
وَالَّذِينَ آمَنُوا
أَشَدُّ حُبًّا
لِّلَّهِ
“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.”
[Al-Baqarah: 165]
إِنَّهُمْ كَانُوا
يُسَارِعُونَ فِي
الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا
رَغَبًا وَرَهَبًا
ۖ وَكَانُوا
لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam
(mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan
cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’:
90]
Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa
cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan
raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya
dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya
dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”
SYARAT
DITERIMANYA IBADAH
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang
disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak
disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ عَمِلَ
عَمَلاً لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut
tertolak.” [6]
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa
dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah,
karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik
kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah,
karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan
meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
بَلَىٰ مَنْ
أَسْلَمَ وَجْهَهُ
لِلَّهِ وَهُوَ
مُحْسِنٌ فَلَهُ
أَجْرُهُ عِندَ
رَبِّهِ وَلَا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلَا هُمْ
يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada
Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak
ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]
Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua
muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah
kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang
Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”
Sebagaimana Allah berfirman:
فَمَن كَانَ
يَرْجُو لِقَاءَ
رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ
عَمَلًا صَالِحًا
وَلَا يُشْرِكْ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِ
أَحَدًا
“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia
mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam
beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]
Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat
syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.
Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua,
bahwasanya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang
menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya
serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.[7]
KEUTAMAAN IBADAH
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan
diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan
menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang
enggan melaksanakannya dicela.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ
لَكُمْ ۚ
إِنَّ الَّذِينَ
يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ
عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ
جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan
bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku
akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit
manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan
tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan
besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua
adalah mudah.
Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan
membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan
manusiawi.
Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah
melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia
secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya
jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan
ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah
itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena
sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya
tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan
beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman
kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan
kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan
tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama
sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.
Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan
yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan
keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki
kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari
itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling
bahagia dan paling lapang dadanya.
Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang
merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan,
kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb,
Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak
tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.[9]
Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk
melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat
menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan
saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan
jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada
Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk,
ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa
percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah
saja.
Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama
untuk meraih keridhaan Allah l, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.
Disiratkan di dalam
Al-Qur'an, pengertian ibadah dapat ditemukan melalui pemahaman bahwa :
1. Kesadaran beragama pada manusia
membawa konsekwensi manusia itu melakukan penghambhaan kepada tuhannya. Dalam
ajaran Islam manusia itu diciptakan untuk menghamba kepada Allah, atau dengan
kata lain beribadah kepada Allah (Adz-Dzaariyaat QS. 51:56).
2. Manusia yang
menjalani hidup beribadah kepada Allah itu tiada lain manusia yang berada pada shiraathal
mustaqiem atau jalan yang lurus (Yaasiin QS 36:61)
3. Sedangkan
manusia yang berpegang teguh kepada apa yang diwahyukan Allah, maka ia berada
pada shiraathal mustaqiem atau jalan yang lurus (Az Zukhruf QS. 43:43).
Dengan demikian apa
yang disebut dengan manusia hidup beribadah kepada Allah itu ialah manusia yang
dalam menjalani hidupnya selalu berpegang teguh kepada wahyu Allah. Jadi
pengertian ibadah menurut Al Quran tidak hanya terbatas kepada apa yang disebut
ibadah mahdhah atau Rukun Islam saja, tetapi
cukup luas seluas aspek kehidupan yang ada selama wahyu Allah memberikan
pegangannya dalam persoalan itu.
Itulah mengapa umat
Islam tidak diperkenankan memutuskan suatu persoalan hidupnya sekiranya Allah
dan Rasul-Nya sudah memutuskan perkara itu (Al Ahzab QS. 33:36)
Definisi
Ibadah
menurut bahasa
“Ibadah secara bahasa
berarti perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan.”[2]
Sedangkan
menurut istilah Syar'i
Definisi terbaik dan
terlengkap adalah apa yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang
mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik
berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak
(lahir). Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah,
berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji,
memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan
orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang
miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik
kepada orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja, memanjatkan do’a,
berdzikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari
ibadah. Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah,
inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya
untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas
nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya,
mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain
sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah.”
B.
TUJUAN
IBADAH
Pertama, untuk memperlihatkan
perasaan hina di hadapan Allah SWT, sehingga diharapkan muncul dalam dirinya
sebuah prinsip, bahwa Allah lah satu-satunya Dzat Yang Maha Mulia. Dan seorang
hamba tidak dibenarkan untuk bersikap sombong; karena pada dasrnya, tidak ada
seorang hambapun yang paling mulia dihadapan Allah SWT, apapun bangsanya, warna
kulitnya, ataupun kedudukannya, semuanya tidak akan menjadikannya mulia di
hadapan Allah SWT, kecuali dibarengi dengan kualitas ketakwaan yang sesungguhnya
(melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya).
Allah SWT berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujuraat (49) :13)
Kedua, memperlihatkan rasa cinta yang sesungguhnya kepada Allah SWT.
Rasa cinta merupakan anugerah dari Allah SWT, oleh karenanya, harus senantiasa
disyukuri dan diarahkan atau diporsikan sesuai dengan kehendak Dzat Yang
Memberikannya.
Doktor A’id Al-Qarni mengatakan,”Cinta itu secara umum dibagi kepada dua
katagori, yaitu, cinta yang bersifat fitrah, seperti cinta kepada harta, anak,
orang tua, lawan jenis dan lain sebagainya. Semua itu tidak membutuhkan upaya
untuk memunculkan rasa cinta kepadanya. Dan yang ke dua adalah cinta yang harus
diusahakan (mahabbah muktasabah), yaitu kecintaan kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya. Kecintaan tersebut, adalah kecintaan yang paling tinggi derajatnya;
karena kecintaan yang seperti ini membutuhkan perjuagan atau pengirbanan dalam
mewujudkannya, bahkan kecintaan yang sifatnya fitrah, walaupun secara syari’at
tidak dilarang, akan tetapi tidak boleh menghalangi kecintaan seorang hamba
kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya harus senantiasa dinomor-satukan;
sebab sikap seperti adalah ciri has daripada orang-orang yang beriman. Ketika
seorang hamba lebih mengedepan kecintaan fitrahnya daripada kecintaan kepada
Allah dan Rasul-Nya, seperti lebih mencitai harta, kedudukan, pekerjaannya dan
lain sebagainya.maka itu semua merupakan fenomena kelemahan iman. Allah SWT
berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا للهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ للهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ.
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan
orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada
Hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat
berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal). (QS. Al-Baqarah (2) :165)
Ketiga, memperlihatkan rasa takut kepada Allah SWT (dari adzab-Nya), dan
memperlihatkan pengharapan yang seutuhnya kepada rahmat-Nya.
Dalam kehidupan sehari-hari, hamba Allah SWT selalu dibarengi dengan dua
perasaan, yaitu perasaan takut dan berharap. Namun demikian, bagi seorang hamba
yang selalu istiqamah untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT, tentunya rasa
takut tersebut akan dapat dihindarkan, ia akan selalu memiliki keyakinan bahwa
tidak ada yang perlu ditakuti dalam hidup ini, kecuali terjerembabnya diri ke
dalam kemaksiatan; karena ketika itu terjadi, berarti adzab Allah lah yang akan
menimpa dirinya.
Bagi seorang yang beriman, tidak ada lagi yang ditakuti dalam hidunya, kecuali
adzab Allah SWT, dan adzab itu akan menimpa disebabkan oleh perbuatan maksiat
kepada-Nya. Maka ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba, pada dasarnya
merupakan implementasi dari rasa takut akan adzab Allah SWT, dan sekaligus akan
menghantarkan hamba kepada rahmat Allah SWT yang selalu diharapkan sepanjang
hidupnya.
Sesungguhnya, tidak ada kebahagiaan dan kesuksesan yang hakiki, kecuali ketika
seorang hamba selalu berada dalam rahmat dan maghfirah Allah SWT yang diraih
dengan sikap istikomah dalam keimanan, perubahan ke a rah yang lebih positip
dan selalu memohon ampun ketika lalai, juga berupaya keras untuk tetap berada dijalan
Allah SWT.
Allah SWT berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad
di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah (2) :218)
Keempat, memperlihatkan rasa syukur yang mendalam terhadap semua ni’mat
Allah SWT yang telah diberikan.
Pengakuan dan kesadaran akan ni’mat Allah SWT dalam kehidupan, akan mendorong
seorang hamba untuk mengakui kelemahan dan kebutuhannya kepada Allah SWT yang
telah memberikan semua ni’mat-Nya, karena seorang hamba tidak akan bisa
terlepas dari ni’mat tersebut. Ini berarti bahwa seorang hamba akan selalu
membutuhkan Allah SWT, karena Dialah yang maha pemberi ni’mat. Dengan demikian
diharapkan hambapun akan selalu berupaya untuk melaksanakan apa yang
dikehendaki oleh pemberi ni’mat itu.
Allah SWT Dzat yang telah memberikan ni’mat menuntut dari hamba-Nya agar selalu
bersyukur atas ni’mat tersebut. Para ulama menjelaskan bahwa bersyukur yang
sesungguhnya atas ni’mat adalah menggunakan ni’mat tersebut sesuai dengan yang
dikehendaki oleh Allah SWT, dan untuk membuktikannya tidak ada cara lain
kecuali dengan beribadah kepada-Nya, sehingga segala sesuatu yang telah Allah
anugrahkan harus digunakan dalam rangka meraih keridloan dan kecintaan Allah
SWT untuk mendapatkan kebahagiaan hidup diakhirat.
Allah SWT berfirman.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashshash (28)
: 77
C. KEDUDUKAN IBADAH
Ibadah mempunyai kedudukan
yang sangat penting danbesar dalam kehidupan karnah ibadalah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah
berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
مَا أُرِيدُ
مِنْهُم مِّن
رِّزْقٍ وَمَا
أُرِيدُ أَن
يُطْعِمُونِ إِنَّ
اللَّهَ هُوَ
الرَّزَّاقُ ذُو
الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah
Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat:
56-58]
Al-yaqdzoh (dalam keadaan sadar
dalam ibadah
diharuskan untuk menghadirkan hati agar jangan sampai lalai. Allah berfirman
(Qs. Saba’ 46). Maka makna berdiri shalat untuk Allah adalah dengan sadar tidak
dalam keadaan lalai dan dalam keadaan berdiri. Karena Allah telah mencela di
dalam kitab-Nya orang-orang yang lalai dari ibadahnya. Allah berfirman: (Qss.
Al-Kahfi 57). Maka hendaknya orang yang pernah lalai dalam shalatnya ia
bertaubat dengan diiringi ilmu dan amal dan diiringi pula dengan rasa menyesal
serta selalu minta ampun kepada Allah, serta meminta untuk ditamhis yaitu
membersihkan imannya dari berbagai hal yang mengotorinya baik dari perbuatan
syirik ataupun yang lainnya, karena seseorang tidak akan masuk surga hingga
imannya menjadi baik dan bersih. Allah berfirman: (Qs. Az-Zumar 73). Adapun
upaya melakukan tamhis ketika berada didunia adalah dengan melakukan empat hal
yaitu Pertama dengan taubat, Kedua istighfar (meminta ampun
kepada Allah), Ketiga berbuat amal kebaikan untuk menghapus dosa yang
pernah ia lakukan, Keempat sabar ketika menghadapi musibah maka apabila
keempat hal ini belum terpenuhi maka belum dikatakan bertaubat nashuha.
Adapun bentuk
tamhis ketika dialam barzah adalah Pertama dishalatkannya jenazah oleh
orang-orang yang beriman, Kedua Permintaan ampun mereka untuk sang
jenazah, Ketiga Amal yang dihadiahkan saudaranya untuk sang jenazah,
baik dari shodaqah, haji, puasa dan lain-lain; maka apabila ketiga hal ini
tidak didapati oleh sang jenazah maka ia harus ditamhis didalam neraka, hal mana
neraka berfungsi sebagai penyuci bagi dosa-dosanya.
Bertafakur
Yaitu memusatkan hati
pada suatu segi yang dapat direnungi, adapun bertafakur itu sendiri terbagi
menjadi dua macam yaitu yang berhubungan dengan ilmu dan ma’rifah dan fikroh
yang berhubungan dengan permintaan dan keinginan.
Adapun yang berkenaan
dengan ilmu dan ma’rifah yaitu fikiran yang dapat membedakan antara yang hak
dan yang bathil dan mana yang harus ditetapkan dan dinafikkan. Sedangkan yang
berhubungan dengan permintaan dan keinginan adalah pemikiran yang dapat
membedakan antara yang bermanfaat dan mendatangkan mala petaka.
Bashirah (cahaya didalam hati)
Bashirah adalah cahaya
yang terdapat didalam hati yang dengannya dapat melihat mana janji dan mana
ancaman, mana surga dan mana neraka, dan apa yang Allah janjikan kepada para
wali-Nya dan apa yang Allah ancamkan kepada para musuh-musuh-Nya.
Dan ada pula yang
mengatakan bahwa bashirah adalah cahaya hati yang dapat melihat apa yang telah
Rasulullah kabarkan sebagaimana ia menyaksikannya dengan kedua matanya.
Bashirah mempunyai tiga tingkatan, barang siapa yang telah sempurna ketiganya
maka telah sempurnalah bashirahnya. Ketiga tingkatan tersebut adalah:
a. Bashirah terhadap asma’ dan sifat. Yaitu imannya tidak tercampuri oleh
syubhat yang bertentangan dengan sifat yang telah Allah sifatkan bagi diri-Nya
dan yang telah rasul sifatkan untuk-Nya, terlebih syubhat keragu-raguan akan
keberadaan Allah, hal ini lebih bahaya;
b. Bashirah terhadap perintah dan larangan, maka didalam hatinya hendaknya
tidak ada syubhat yang bertentangan terhadap ilmu tentang perintah Allah dan
larangan-Nya dan tidak mengikuti syahwat yang menghalangi untuk melaksankan
perintah tersebut dan menjauhi larangan Allah serta tidak taklid akan tetapi
hendaknya ia mencurahkan kemampuannya untuk mengetahui dasar-dasar yang ia
amalkan;
c. Bashirah pada hal janji dan ancaman, yaitu dengan menyakini bahwa Allah
akan memberi balasan kepada setiap jiwa sesuai dengan apa yang telah dilakukan
baik dari amalan baik maupun jelek, baik balasan tersebut disegerakan ataupun
diakhirkan;
Azam
Azam adalah tujuan
yang sudah pasti berhubungan dengan pekerjaan. Dan ada juga sebagian ulama yang
mendefinisikan sebagai suatu kumupulan keinginan yang kuat untuk melakukan
sesuatu. Dan azam itu sendiri terbagi menjadi dua bagian yaitu Pertama
berazam ketika ingin melakukan amal Kedua Berazam ketika sedang
melakukan amal
Dan hendaknya setelah
melakukan yang keempat hal ini hendaknya ia bermuhasabah terhadap apa yang
telah ia lakukan, yaitu dengan bermuhasabah sebelum beramal, ketika beramal dan
sesudah beramal. Adapun hal-hal yang harus dimiliki oleh seorang yang
bermuhasabah adalah sebagai berikut:
- hendaknya ia memiliki nur hikmah yaitu berupa ilmu yang dengannya
seorang hamba bisa membedakan antara yang hak dan yang batil, kesesatan
dan petunjuk, yang bermanfaat dan yang membawa mudhorat, yang sempurna dan
yang kurang, antara yang baik dan yang buruk, mengetahui mana yang rojih
dan mana yang marjuh dan mengetahui mana amalan yang diterima dan mana
amalan yang ditolak.
- Su’udzan terhadap diri sendir (berburuk sangka terhadap diri sendir).
Hal ini sangat dibutuhkan bagi seorang yang ingin bermuhasabah karena
sikat baik sangka terhadap diri sendiri dapat menimbulkan sikap sombong,
ia akan melihat amalan buruknya menjadi amalan yang baik, dan aibnya
menjadi ia anggap sempurna;
- Membedakan antara fitnah dan nikmat, orang yang ingin bermuhasabah ia
harus bisa untuk membedakan antara fitnah dan nikmat, dan ia mengetahui
antara nikmat yang sifatnya sebagai istidraj, berapa banyak orang yang
diberi nikmat padahal itu adalah istidraj tapi dia tidak merasa.
D.
MUAMALAH
Dari segi bahasa, muamalah berasal dari kata aamala, yuamilu, muamalat
yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan.
Kata-kata semacam ini adalah kata kerja aktif yang harus mempunyai dua buah
pelaku, yang satu terhadap yang lain saling melakukan pekerjaan secara aktif,
sehingga kedua pelaku tersebut saling menderita dari satu terhadap yang
lainnya.
Pengertian
Muamalah dari segi istilah dapat diartikan dengan arti yang luas dan dapat pula
dengan arti yang sempit. Di bawah ini dikemukakan beberapa pengertian muamlah;
Menurut Louis
Ma’luf, pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan
urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain
sebagainya. Sedangkan menurut Ahmad Ibrahim Bek, menyatakan muamalah adalah
peraturan-peraturan mengenai tiap yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti
perdagangan dan semua mengenai kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi,
peradilan dan yang berhubungan dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun
khusus, yang telah ditetapkan dasar-dasarnya secara umum atau global dan
terperinci untuk dijadikan petunjuk bagi manusia dalam bertukar manfaat di
antara mereka.
Sedangkan
dalam arti yang sempit adalah pengertian muamalah yaitu muamalah adalah semua
transaksi atau perjanjian yang dilakukan oleh manusia dalam hal tukar menukar
manfaat.
Dari berbagai
pengertian muamalah tersebut, dipahami bahwa muamalah adalah segala peraturan
yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak
seagama, antara manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam
sekitarnya
ARTI PENTING MUAMALAH ISLAM DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Husein Shahhathah (Al-Ustaz Universitas Al-Azhar Cairo) dalam buku Al-Iltizam
bi Dhawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat Maliyah (2002) mengatakan, “Fiqh
muamalah ekonomi, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Tidak ada
manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu hukum
mempelajarinya wajib ‘ain (fardhu) bagi setiap muslim.
Husein Shahhatah, selanjutnya menulis, “Dalam bidang muamalah maliyah ini,
seorang muslim ber-kewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah sebagai
kepatuhan kepada syari’ah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah maliyah ini,
maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia
sadari. Seorang Muslim yang bertaqwa dan takut kepada Allah swt, Harus berupaya
keras menjadikan muamalahnya sebagai amal shaleh dan ikhlas untuk Allah semata”
Memahami/mengetahui hukum muamalah maliyah wajib bagi setiap muslim, namun
un-tuk menjadi expert (ahli) dalam bidang ini hukumnya fardhu kifayah. Oleh
karena itu, Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pasar dan berkata :
“Tidak boleh
berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah me-ngerti fiqh
(muamalah) dalam agama Islam” (H.R.Tarmizi).
Berdasarkan ucapan Umar di atas, maka dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa umat
Islam Tidak boleh beraktifitas bisnis, Tidak boleh berdagang, Tidak boleh
beraktivitas per-bankan, Tidak boleh beraktifitas asuransi, Tidak boleh
beraktifitas pasar modal, Tidak boleh beraktifitas koperasi, Tidak boleh
beraktifitas pegadaian, Tidak boleh beraktifitas reksadana, Tidak boleh
beraktifitas bisnis MLM, Tidak boleh beraktifitas jual-beli, Tidak boleh
bergiatan ekonomi apapun, kecuali faham fiqh muamalah.
Sehubungan dengan itulah Dr.Abdul Sattar menyimpulkan Muamalat adalah inti
terdalam dari tujuan agama Islam untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Dalam konteks ini Allah berfirman :
‘Dan saudara mereka, Syu’aib. Ia
berkata,kepada penduduk Madyna, Kami utus “Hai Kaumku sembahlah Allah, sekali-kali Tiada Tuhan bagimu
selain Dia. Dan Janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku
melihat kamu dalam keadaan yang baik. Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan
azab hari yang membinasakan (kiamat)”.
Dan Syu’aib berkata,”Hai kaumku sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan
adil. Janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah
kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. (Hud : 84,85)
PRINSIP-PRINSIP MUAMALAH DALAM ISLAM
1. Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah,
kecuali yang ditentukan oleh al-qur’an dan sunnah rasul. Bahwa hukum islam
memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam muamalat baru sesuai
dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.
2. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela , tanpa mengandung
unsur paksaan. Agar kebebasan kehendak pihak-pihak bersangkutan selalu
diperhatikan.
3. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan
manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat. Bahwa sesuatu bentuk
muamalat dilakukan ats dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari
madharat dalam hidup masyarakat.
4. Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan,
menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam
kesempitan. Bahwa segala bentuk muamalat yang mengundang unsur penindasan tidak
dibenarkan.
RUANG LINGKUP
ruang lingkup fiqh muamalah terbagi dua, yaitu ruang lingkup muamalah muamalah
madiyah dan adabiyah.
Ruang lingkup muamalah madiyah ialah masalah jusl beli ( al-ba’i/ al-tijarah) ,
gadai (al-rahn), jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman), pemindahan utang
(Al-hiwalah), jatuh bangkrut(taflis) , batasan bertindak (alhajru) , perseroan
atau perkongsian (al-syirkah), perseroan harta tenaga (al –mudhorobah), sewa
menyewa tanah (al-mukhorrobah) upah(ujrah al-amal), gugatan (al-ssssssssuf’ah),
sayembara(al-ji’alah) pembagian kekayaan bersama (al-qismah), pemberian
(al-hibah), pembebasan (al-ibra’) damai (as-shulhu), dan di tambah dengan beberapa
masalah kontemporer(al-mu’asirah/ al muhadisah), seperti masalah bunga bank,
dan asuransi kredit.
Ruang lingkup muamalah yang bersifat adabiyah ialah ijab qobul, saling
meridhoi, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran,
pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber
dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup
bermasyarakat.
ARTI PENTING PENDIDIKAN MUAMALAT ISLAM
1. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan
ketakwaan peserta didik kepada Allah swt yang telah ditanamkan dalam lingkungan
keluarga. Pada dasarnya kewajiban menanamkan keimanan dan ketakwaan di lakukan
oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuh
kembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan
pelatihan agar keimanan dan ketakwaan tersebut dapat berkembang secara optimal
sesuai dengan tingkat perkembangannya.
2. Penanaman nilai, sebagai pedoman hidup untuk mencari
kebahagian hidup didunia dan di akhirat.
3. Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah
lingkungannya sesuai dengan ajaran agama islam.
4. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan,
kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan,
pemahaman dan pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari.
5. Pencegahan, yaitu untuk menangkal, hal-hal negatif dari
lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan
menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.
6. Pengajaran, tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum
system dan fungsional.
7. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang
memiliki bakat khusus di bidang agama islam agar bakat tersebut dapat
berkembangsecara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan
bagi orang lain.
Kamus Fiqh
Islam: Pengertian Muamalah (المعامله)
Dalam kajian ekonomi dan fiqh Islam, serta hal-hal yg berhubungan antar manusia
khususnya dalam bidang hukum perdata dan pidana, dikenal istilah kata Muamalah.
Bagaimana dan apa yg dimaksud dengan muamalah?
Etimologi
Muamalah
Walaupun istilah ini bersifat kei-Islaman, namun Kata muamalah saat ini
telah menjadi bahasa yg lazim digunakan di Indonesia, khususnya di kalangan
umat Islam Indonesia dengan maksud untuk hal-hal yg berkaitan dg urusan
kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb).
Kata Muamalah
sebenarnya berasal dari bahasa Arab: al-Muamalah (المعامله) yg secara etimologi
sama dan semakna dengan kata al-mufa`alah (المفاعله), yang artinya saling
berbuat. Pengertian harfiahnya: suatu aktivitas yg dilakukan oleh seseorang
dengan seseorang lain atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.
Kata “seseorang” dalam definisi di atas adalah orang/manusia yg sudah mukallaf,
yg dikenai beban taklif, yaitu orang yg telah berakal baligh dan cerdas..
Tujuan
muamalah dalam islam
Menurut para Ulama fiqh dengan merujuk kepada 2 sumber utama hukum Islam:
al-Qur`an dan Hadits, tujuan muamalah antara lain:
·
Untuk kemaslahatan umat manusia
·
Untuk mengatur aktivitas tiap orang agar mengikuti
panduan Islam
Jenis-Jenis Muamalah
Para Ulama Fiqh membagi jenis muamalah menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Muamalah yg
hukumnya langsung ditentukan (ditunjuk) oleh Nash (al-Qur`an dan al-Sunnah).
Contoh persoalan perdata: warisan, bilangan talak pernikahan, iddah, khluk,
rujuk, keharaman (jual) khamar (minuman keras), keharaman riba, keharaman
(jual) babi, keharaman (jual) bangkai. Contoh persoalan pidana: hukum
pencurian, hukum perzinahan, hukum qazhaf (menuduh orang lain berbuat zina),
dll.
2. Muamalah yg
tidak ditunjuk langsung oleh Nash, tetapi diserahkan sepenuhnya kepada hasil
ijtihad para Ulama, sesuai dg kreasi para ahli dalam rangka memenuhi kebutuhan
umat manusia sepanjang tempat dan zaman, serta sesuai pula dg situasi dan
kondisi masyarakat itu sendiri. Contoh: menerapkan sistem jual beli tanpa
proses ijab dan qabul seperti transaksi jual beli di supermarket, minimarket,
swalayan, pasar, dll. BAHASA umum yg digunakan oleh nash dalam sistem jual beli
adalah kerelaan antara pembeli dan penjual. (Perdalam di Hukum Jual Beli Menurut al-Qur`an dan
Hadits)
E. PERBEDAAN
WUDHU DAN TAYAMMUM
Adapun di
dalam tayamum, hanya boleh di gunakan untuk satu kali solat fardhu untuk tiap
tayamum. Dengan kata lain, kita harus
tayamum lagi ketika masuk waktu solat fardhu yg lain walaupun belum batal. Tapi
jika untuk solat sunnah, cukup satu kali tayamum dan boleh digunakan untuk
melakukan solat sunnah sebanyak apapun yg diinginkan. Sedangkan wudhu, boleh
digunakan untuk melakukan solat fardhu atau sunnah secara berulang-ulang
apabila tidak ada hal yang telah membatalkannya atau masih dalam keadaan suci.
Selain itu, Wudhu dapat dilaksanakan sebelum masuk waktu salat, sedangkan
tayamum tidak boleh dan hanya boleh dilakukan ketika waktu salat telah masuk
F.
HIKMAH KALIMAT
SYAHADAT
Syahadat
memiliki hikmat tersendiri sebagai penopang iman islam sebagai muslim, syahadat
buakan sekedar kalimat yang begitu saja meluncur dari mulut seorang muslim,
tetapi syahadat adalah janji, ikrar, dan pernyataan komitmen muslim terhadap
islam,
Jika
kita merenungkan makna syahadat yang kita sering ucapkan dalah ibadah sholat,
sebuah hikma yang indah akan dapat kita petik, hikma syahadat yang
sungguh-sungguh tercimin dari perbuatan seseorang, apa bila seseorang meyakinin
bahwa Allah SWT satu-satunya tuhan baginya dan Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya
maka ia akan menanamkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.
Dengan
meyakini bahwa Allah SWT adalah tuhan-Nya, seseorang akan menanamkan pada
dirinya sendiri untuk berlindung kepada-Nya, mematuhi perintah-Nya, dan
menjauhi larangan-Nya. Dan dengan
meyakini Nabi Muhammad SAW sebagai
rasul-Nya seorang mampu berkomitmen untuk meneladani sikap dan prilaku mulia
Nabi Muhammad SAW.
Manfaat
syahadat sebagai fondasi iman seseorang dan melindugi kita dari kegiatan syirik
dan musrik, inti kalimat syhadat yang pertama adalah meyakini bahwa Allah SWT
adalah satu-satunya tuhan, dengan memaknainya kita dapat menghindar diri dari
perbuata-perbuatan yang menduakan Allah SWT.
Pernyataan
dua kalimat syhadat adalah inti dari firman-firma-Nya dari Al-Qur’an, kalimat
syahadat mengintisarikan ajaran Al-Qur’an tentang keesaan Tuhan, termasuk
meyakini kebesara-Nya dan fakta bahwa tidak ada yang mampu menandigi-Nya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang
disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak
disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) jadi ibadah itu tetap
dan mem p[unyai ketetapannya. muamalah
adalah segala peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik yang
seagama maupun tidak seagama, antara manusia dengan kehidupannya, dan antara
manusia dengan alam sekitarnya.
Wudhu adalah sala satu syarat syah ibadah yang bertuju
an untuk mensucikan diri dari najis yang di kerjakan sabelum peribadatan.
Dua kalimat syahadat adalah
janji, ikrar, dan pernyataan komitmen muslim terhadap islam,
Pernyataan
dua kalimat syhadat adalah inti dari firman-firma-Nya dari Al-Qur’an, kalimat
syahadat mengintisarikan ajaran Al-Qur’an tentang keesaan Tuhan, termasuk
meyakini kebesara-Nya dan fakta bahwa tidak ada yang mampu menandigi-Nya.
DAFTAR PUSTAKA