Sabtu, 10 Mei 2014

LET YOU GO




LET YOU GO


Then I realized you're the best for me
Now I realized recently after you're no longer mine
The lips are no longer able to smile when you remember
The eyes always cry

I'm sorry to have kept you let go
I hope you will be happy there with her
So painful that I guess
So hard to forget

Release the loved one is painful
But not all who loved to be held
I'm sure our grief is only temporary
So much love is waiting for you

Keep the spirit of comrade
Blessed dear
Blessed my beautiful ex


IBADAH dan MUAMALAH

BAB I
PENDAHULUAN
1.1       LATAR BELAKANG
Seperti realita hidup yang kita lihat jaman sekarang banyak orang yang hidup di luar aturan atau suatu ketetapan hatinya,  suatu kehidupan yang tidak sesuai dengan ketetapan syariah  islam itu sendiri jika akiqah kita jelek, maka akan merusak pula tingkat keimanan dan ketakwaan kita pada ALLAH SWT.

1.2  RUMUSAN MASALAH
1.      Jelaskan apa yang di maksud dengan IBADAH  dan MUAMALAH ?
2.      Jelaskan apa tujuan dari IBADAH ?
3.      Berikan penjelasan tentang  hikma pelaksanaan dua kalimat syahadat ?


1.3  TUJUAN MASALAH
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini selain sebagai tugas mata kuliah  stadi islam, saya berharap dengan adanya makalah ini dapat menjadi sebua tolak ukur kepada kita semuah agar bias lebih mengerti dan meningkatkan pemahaman kita tentang syariah yang lebih luas dan menambah pengetahuan kita tentang ruang lingkup syariah itu sendiri


BAB II
PEMBAHASAN
A.     IBADAH
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.
terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]

Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).

 PILAR-PILAR UBUDIYYAH YANG BENAR
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).

Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ

“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]

Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”

 SYARAT DITERIMANYA IBADAH
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]

Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:

a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]

Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”

Sebagaimana Allah berfirman:

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]

Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.[7]

KEUTAMAAN IBADAH
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]

Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.

Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.

Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.

Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.

Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.[9]

Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.

Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.

Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah l, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka
.
Disiratkan di dalam Al-Qur'an, pengertian ibadah dapat ditemukan melalui pemahaman bahwa :
1.      Kesadaran beragama pada manusia membawa konsekwensi manusia itu melakukan penghambhaan kepada tuhannya. Dalam ajaran Islam manusia itu diciptakan untuk menghamba kepada Allah, atau dengan kata lain beribadah kepada Allah (Adz-Dzaariyaat QS. 51:56).
2.      Manusia yang menjalani hidup beribadah kepada Allah itu tiada lain manusia yang berada pada shiraathal mustaqiem atau jalan yang lurus (Yaasiin QS 36:61)
3.      Sedangkan manusia yang berpegang teguh kepada apa yang diwahyukan Allah, maka ia berada pada shiraathal mustaqiem atau jalan yang lurus (Az Zukhruf QS. 43:43).
Dengan demikian apa yang disebut dengan manusia hidup beribadah kepada Allah itu ialah manusia yang dalam menjalani hidupnya selalu berpegang teguh kepada wahyu Allah. Jadi pengertian ibadah menurut Al Quran tidak hanya terbatas kepada apa yang disebut ibadah mahdhah atau Rukun Islam saja, tetapi cukup luas seluas aspek kehidupan yang ada selama wahyu Allah memberikan pegangannya dalam persoalan itu.
Itulah mengapa umat Islam tidak diperkenankan memutuskan suatu persoalan hidupnya sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan perkara itu (Al Ahzab QS. 33:36)
Definisi Ibadah
menurut bahasa
“Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan.”[2]
Sedangkan menurut istilah Syar'i
Definisi terbaik dan terlengkap adalah apa yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir). Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik kepada orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja, memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari ibadah. Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah.”


B.       TUJUAN IBADAH
Pertama, untuk memperlihatkan perasaan hina di hadapan Allah SWT, sehingga diharapkan muncul dalam dirinya sebuah prinsip, bahwa Allah lah satu-satunya Dzat Yang Maha Mulia. Dan seorang hamba tidak dibenarkan untuk bersikap sombong; karena pada dasrnya, tidak ada seorang hambapun yang paling mulia dihadapan Allah SWT, apapun bangsanya, warna kulitnya, ataupun kedudukannya, semuanya tidak akan menjadikannya mulia di hadapan Allah SWT, kecuali dibarengi dengan kualitas ketakwaan yang sesungguhnya (melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya).
Allah SWT berfirman,
     
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS.
Al-Hujuraat (49) :13)

Kedua, memperlihatkan rasa cinta yang sesungguhnya kepada Allah SWT. Rasa cinta merupakan anugerah dari Allah SWT, oleh karenanya, harus senantiasa disyukuri dan diarahkan atau diporsikan sesuai dengan kehendak Dzat Yang Memberikannya.

Doktor A’id Al-Qarni mengatakan,”Cinta itu secara umum dibagi kepada dua katagori, yaitu, cinta yang bersifat fitrah, seperti cinta kepada harta, anak, orang tua, lawan jenis dan lain sebagainya. Semua itu tidak membutuhkan upaya untuk memunculkan rasa cinta kepadanya. Dan yang ke dua adalah cinta yang harus diusahakan (mahabbah muktasabah), yaitu kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Kecintaan tersebut, adalah kecintaan yang paling tinggi derajatnya; karena kecintaan yang seperti ini membutuhkan perjuagan atau pengirbanan dalam mewujudkannya, bahkan kecintaan yang sifatnya fitrah, walaupun secara syari’at tidak dilarang, akan tetapi tidak boleh menghalangi kecintaan seorang hamba kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya harus senantiasa dinomor-satukan; sebab sikap seperti adalah ciri has daripada orang-orang yang beriman. Ketika seorang hamba lebih mengedepan kecintaan fitrahnya daripada kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, seperti lebih mencitai harta, kedudukan, pekerjaannya dan lain sebagainya.maka itu semua merupakan fenomena kelemahan iman. Allah SWT berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا للهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ للهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ.

Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada Hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal). (QS. Al-Baqarah (2) :165)

Ketiga, memperlihatkan rasa takut kepada Allah SWT (dari adzab-Nya), dan memperlihatkan pengharapan yang seutuhnya kepada rahmat-Nya.
Dalam kehidupan sehari-hari, hamba Allah SWT selalu dibarengi dengan dua perasaan, yaitu perasaan takut dan berharap. Namun demikian, bagi seorang hamba yang selalu istiqamah untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT, tentunya rasa takut tersebut akan dapat dihindarkan, ia akan selalu memiliki keyakinan bahwa tidak ada yang perlu ditakuti dalam hidup ini, kecuali terjerembabnya diri ke dalam kemaksiatan; karena ketika itu terjadi, berarti adzab Allah lah yang akan menimpa dirinya.

Bagi seorang yang beriman, tidak ada lagi yang ditakuti dalam hidunya, kecuali adzab Allah SWT, dan adzab itu akan menimpa disebabkan oleh perbuatan maksiat kepada-Nya. Maka ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba, pada dasarnya merupakan implementasi dari rasa takut akan adzab Allah SWT, dan sekaligus akan menghantarkan hamba kepada rahmat Allah SWT yang selalu diharapkan sepanjang hidupnya.

Sesungguhnya, tidak ada kebahagiaan dan kesuksesan yang hakiki, kecuali ketika seorang hamba selalu berada dalam rahmat dan maghfirah Allah SWT yang diraih dengan sikap istikomah dalam keimanan, perubahan ke a rah yang lebih positip dan selalu memohon ampun ketika lalai, juga berupaya keras untuk tetap berada dijalan Allah SWT.
Allah SWT berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah (2) :218)

Keempat, memperlihatkan rasa syukur yang mendalam terhadap semua ni’mat Allah SWT yang telah diberikan.
Pengakuan dan kesadaran akan ni’mat Allah SWT dalam kehidupan, akan mendorong seorang hamba untuk mengakui kelemahan dan kebutuhannya kepada Allah SWT yang telah memberikan semua ni’mat-Nya, karena seorang hamba tidak akan bisa terlepas dari ni’mat tersebut. Ini berarti bahwa seorang hamba akan selalu membutuhkan Allah SWT, karena Dialah yang maha pemberi ni’mat. Dengan demikian diharapkan hambapun akan selalu berupaya untuk melaksanakan apa yang dikehendaki oleh pemberi ni’mat itu.
Allah SWT Dzat yang telah memberikan ni’mat menuntut dari hamba-Nya agar selalu bersyukur atas ni’mat tersebut. Para ulama menjelaskan bahwa bersyukur yang sesungguhnya atas ni’mat adalah menggunakan ni’mat tersebut sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT, dan untuk membuktikannya tidak ada cara lain kecuali dengan beribadah kepada-Nya, sehingga segala sesuatu yang telah Allah anugrahkan harus digunakan dalam rangka meraih keridloan dan kecintaan Allah SWT untuk mendapatkan kebahagiaan hidup diakhirat.

Allah SWT berfirman.

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ.

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashshash (28) : 77

C.      KEDUDUKAN IBADAH
 Ibadah mempunyai kedudukan yang sangat penting danbesar dalam kehidupan karnah ibadalah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]
Al-yaqdzoh (dalam keadaan sadar
dalam ibadah diharuskan untuk menghadirkan hati agar jangan sampai lalai. Allah berfirman (Qs. Saba’ 46). Maka makna berdiri shalat untuk Allah adalah dengan sadar tidak dalam keadaan lalai dan dalam keadaan berdiri. Karena Allah telah mencela di dalam kitab-Nya orang-orang yang lalai dari ibadahnya. Allah berfirman: (Qss. Al-Kahfi 57). Maka hendaknya orang yang pernah lalai dalam shalatnya ia bertaubat dengan diiringi ilmu dan amal dan diiringi pula dengan rasa menyesal serta selalu minta ampun kepada Allah, serta meminta untuk ditamhis yaitu membersihkan imannya dari berbagai hal yang mengotorinya baik dari perbuatan syirik ataupun yang lainnya, karena seseorang tidak akan masuk surga hingga imannya menjadi baik dan bersih. Allah berfirman: (Qs. Az-Zumar 73). Adapun upaya melakukan tamhis ketika berada didunia adalah dengan melakukan empat hal yaitu Pertama dengan taubat, Kedua istighfar (meminta ampun kepada Allah), Ketiga berbuat amal kebaikan untuk menghapus dosa yang pernah ia lakukan, Keempat sabar ketika menghadapi musibah maka apabila keempat hal ini belum terpenuhi maka belum dikatakan bertaubat nashuha.
Adapun bentuk tamhis ketika dialam barzah adalah Pertama dishalatkannya jenazah oleh orang-orang yang beriman, Kedua Permintaan ampun mereka untuk sang jenazah, Ketiga Amal yang dihadiahkan saudaranya untuk sang jenazah, baik dari shodaqah, haji, puasa dan lain-lain; maka apabila ketiga hal ini tidak didapati oleh sang jenazah maka ia harus ditamhis didalam neraka, hal mana neraka berfungsi sebagai penyuci bagi dosa-dosanya.
 Bertafakur
Yaitu memusatkan hati pada suatu segi yang dapat direnungi, adapun bertafakur itu sendiri terbagi menjadi dua macam yaitu yang berhubungan dengan ilmu dan ma’rifah dan fikroh yang berhubungan dengan permintaan dan keinginan.
Adapun yang berkenaan dengan ilmu dan ma’rifah yaitu fikiran yang dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil dan mana yang harus ditetapkan dan dinafikkan. Sedangkan yang berhubungan dengan permintaan dan keinginan adalah pemikiran yang dapat membedakan antara yang bermanfaat dan mendatangkan mala petaka.
Bashirah (cahaya didalam hati)
Bashirah adalah cahaya yang terdapat didalam hati yang dengannya dapat melihat mana janji dan mana ancaman, mana surga dan mana neraka, dan apa yang Allah janjikan kepada para wali-Nya dan apa yang Allah ancamkan kepada para musuh-musuh-Nya.
Dan ada pula yang mengatakan bahwa bashirah adalah cahaya hati yang dapat melihat apa yang telah Rasulullah kabarkan sebagaimana ia menyaksikannya dengan kedua matanya. Bashirah mempunyai tiga tingkatan, barang siapa yang telah sempurna ketiganya maka telah sempurnalah bashirahnya. Ketiga tingkatan tersebut adalah:
a. Bashirah terhadap asma’ dan sifat. Yaitu imannya tidak tercampuri oleh syubhat yang bertentangan dengan sifat yang telah Allah sifatkan bagi diri-Nya dan yang telah rasul sifatkan untuk-Nya, terlebih syubhat keragu-raguan akan keberadaan Allah, hal ini lebih bahaya;
b. Bashirah terhadap perintah dan larangan, maka didalam hatinya hendaknya tidak ada syubhat yang bertentangan terhadap ilmu tentang perintah Allah dan larangan-Nya dan tidak mengikuti syahwat yang menghalangi untuk melaksankan perintah tersebut dan menjauhi larangan Allah serta tidak taklid akan tetapi hendaknya ia mencurahkan kemampuannya untuk mengetahui dasar-dasar yang ia amalkan;
c. Bashirah pada hal janji dan ancaman, yaitu dengan menyakini bahwa Allah akan memberi balasan kepada setiap jiwa sesuai dengan apa yang telah dilakukan baik dari amalan baik maupun jelek, baik balasan tersebut disegerakan ataupun diakhirkan;
Azam
Azam adalah tujuan yang sudah pasti berhubungan dengan pekerjaan. Dan ada juga sebagian ulama yang mendefinisikan sebagai suatu kumupulan keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu. Dan azam itu sendiri terbagi menjadi dua bagian yaitu Pertama berazam ketika ingin melakukan amal Kedua Berazam ketika sedang melakukan amal
Dan hendaknya setelah melakukan yang keempat hal ini hendaknya ia bermuhasabah terhadap apa yang telah ia lakukan, yaitu dengan bermuhasabah sebelum beramal, ketika beramal dan sesudah beramal. Adapun hal-hal yang harus dimiliki oleh seorang yang bermuhasabah adalah sebagai berikut:
  1. hendaknya ia memiliki nur hikmah yaitu berupa ilmu yang dengannya seorang hamba bisa membedakan antara yang hak dan yang batil, kesesatan dan petunjuk, yang bermanfaat dan yang membawa mudhorat, yang sempurna dan yang kurang, antara yang baik dan yang buruk, mengetahui mana yang rojih dan mana yang marjuh dan mengetahui mana amalan yang diterima dan mana amalan yang ditolak.
  2. Su’udzan terhadap diri sendir (berburuk sangka terhadap diri sendir). Hal ini sangat dibutuhkan bagi seorang yang ingin bermuhasabah karena sikat baik sangka terhadap diri sendiri dapat menimbulkan sikap sombong, ia akan melihat amalan buruknya menjadi amalan yang baik, dan aibnya menjadi ia anggap sempurna;
  3. Membedakan antara fitnah dan nikmat, orang yang ingin bermuhasabah ia harus bisa untuk membedakan antara fitnah dan nikmat, dan ia mengetahui antara nikmat yang sifatnya sebagai istidraj, berapa banyak orang yang diberi nikmat padahal itu adalah istidraj tapi dia tidak merasa.
D.     MUAMALAH
Dari segi bahasa, muamalah berasal dari kata aamala, yuamilu, muamalat yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan. Kata-kata semacam ini adalah kata kerja aktif yang harus mempunyai dua buah pelaku, yang satu terhadap yang lain saling melakukan pekerjaan secara aktif, sehingga kedua pelaku tersebut saling menderita dari satu terhadap yang lainnya.
Pengertian Muamalah dari segi istilah dapat diartikan dengan arti yang luas dan dapat pula dengan arti yang sempit. Di bawah ini dikemukakan beberapa pengertian muamlah;
Menurut Louis Ma’luf, pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Ahmad Ibrahim Bek, menyatakan muamalah adalah peraturan-peraturan mengenai tiap yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti perdagangan dan semua mengenai kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi, peradilan dan yang berhubungan dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun khusus, yang telah ditetapkan dasar-dasarnya secara umum atau global dan terperinci untuk dijadikan petunjuk bagi manusia dalam bertukar manfaat di antara mereka.
Sedangkan dalam arti yang sempit adalah pengertian muamalah yaitu muamalah adalah semua transaksi atau perjanjian yang dilakukan oleh manusia dalam hal tukar menukar manfaat.
Dari berbagai pengertian muamalah tersebut, dipahami bahwa muamalah adalah segala peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama, antara manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya

ARTI PENTING MUAMALAH ISLAM DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Husein Shahhathah (Al-Ustaz Universitas Al-Azhar Cairo) dalam buku Al-Iltizam bi Dhawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat Maliyah (2002) mengatakan, “Fiqh muamalah ekonomi, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu hukum mempelajarinya wajib ‘ain (fardhu) bagi setiap muslim.
Husein Shahhatah, selanjutnya menulis, “Dalam bidang muamalah maliyah ini, seorang muslim ber-kewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah sebagai kepatuhan kepada syari’ah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah maliyah ini, maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia sadari. Seorang Muslim yang bertaqwa dan takut kepada Allah swt, Harus berupaya keras menjadikan muamalahnya sebagai amal shaleh dan ikhlas untuk Allah semata” Memahami/mengetahui hukum muamalah maliyah wajib bagi setiap muslim, namun un-tuk menjadi expert (ahli) dalam bidang ini hukumnya fardhu kifayah. Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pasar dan berkata :

“Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah me-ngerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam” (H.R.Tarmizi).
Berdasarkan ucapan Umar di atas, maka dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa umat Islam Tidak boleh beraktifitas bisnis, Tidak boleh berdagang, Tidak boleh beraktivitas per-bankan, Tidak boleh beraktifitas asuransi, Tidak boleh beraktifitas pasar modal, Tidak boleh beraktifitas koperasi, Tidak boleh beraktifitas pegadaian, Tidak boleh beraktifitas reksadana, Tidak boleh beraktifitas bisnis MLM, Tidak boleh beraktifitas jual-beli, Tidak boleh bergiatan ekonomi apapun, kecuali faham fiqh muamalah.
Sehubungan dengan itulah Dr.Abdul Sattar menyimpulkan Muamalat adalah inti terdalam dari tujuan agama Islam untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.

Dalam konteks ini Allah berfirman :
‘Dan  saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata,kepada penduduk Mady
na, Kami utus “Hai Kaumku sembahlah Allah, sekali-kali Tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan Janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik. Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)”.
Dan Syu’aib berkata,”Hai kaumku sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. (Hud : 84,85)

 PRINSIP-PRINSIP MUAMALAH DALAM ISLAM
1.    Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan oleh al-qur’an dan sunnah rasul. Bahwa hukum islam memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam muamalat baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.
2.    Muamalat dilakukan atas dasar sukarela , tanpa mengandung unsur paksaan. Agar kebebasan kehendak pihak-pihak bersangkutan selalu diperhatikan.
3.    Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat. Bahwa sesuatu bentuk muamalat dilakukan ats dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat.
4.    Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan. Bahwa segala bentuk muamalat yang mengundang unsur penindasan tidak dibenarkan.
RUANG LINGKUP
ruang lingkup fiqh muamalah terbagi dua, yaitu ruang lingkup muamalah muamalah madiyah dan  adabiyah.
Ruang lingkup muamalah madiyah ialah masalah jusl beli ( al-ba’i/ al-tijarah) , gadai (al-rahn), jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman), pemindahan utang (Al-hiwalah), jatuh bangkrut(taflis) , batasan bertindak (alhajru) , perseroan atau perkongsian (al-syirkah), perseroan harta tenaga (al –mudhorobah), sewa menyewa tanah (al-mukhorrobah) upah(ujrah al-amal), gugatan (al-ssssssssuf’ah), sayembara(al-ji’alah) pembagian kekayaan bersama (al-qismah), pemberian (al-hibah), pembebasan (al-ibra’) damai (as-shulhu), dan di tambah dengan beberapa masalah kontemporer(al-mu’asirah/ al muhadisah), seperti masalah bunga bank, dan asuransi kredit.
Ruang lingkup muamalah yang bersifat adabiyah ialah ijab qobul, saling meridhoi, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran, pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.

ARTI PENTING PENDIDIKAN MUAMALAT ISLAM
1.    Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah swt yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya kewajiban menanamkan keimanan dan ketakwaan di lakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuh kembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketakwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.
2.    Penanaman nilai, sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagian hidup didunia dan di akhirat.
3.    Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama islam.
4.    Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari.
5.    Pencegahan, yaitu untuk menangkal, hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.
6.    Pengajaran, tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum system dan fungsional.
7.    Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus di bidang agama islam agar bakat tersebut dapat berkembangsecara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain.
Kamus Fiqh Islam: Pengertian Muamalah (المعامله)
Dalam kajian ekonomi dan fiqh Islam, serta hal-hal yg berhubungan antar manusia khususnya dalam bidang hukum perdata dan pidana, dikenal istilah kata Muamalah. Bagaimana dan apa yg dimaksud dengan muamalah?
Etimologi Muamalah
Walaupun istilah ini bersifat kei-Islaman, namun Kata muamalah saat ini telah menjadi bahasa yg lazim digunakan di Indonesia, khususnya di kalangan umat Islam Indonesia dengan maksud untuk hal-hal yg berkaitan dg urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb).
Kata Muamalah sebenarnya berasal dari bahasa Arab: al-Muamalah (المعامله) yg secara etimologi sama dan semakna dengan kata al-mufa`alah (المفاعله), yang artinya saling berbuat. Pengertian harfiahnya: suatu aktivitas yg dilakukan oleh seseorang dengan seseorang lain atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Kata “seseorang” dalam definisi di atas adalah orang/manusia yg sudah mukallaf, yg dikenai beban taklif, yaitu orang yg telah berakal baligh dan cerdas..
Tujuan muamalah dalam islam
Menurut para Ulama fiqh dengan merujuk kepada 2 sumber utama hukum Islam: al-Qur`an dan Hadits, tujuan muamalah antara lain:
·         Untuk kemaslahatan umat manusia
·         Untuk mengatur aktivitas tiap orang agar mengikuti panduan Islam
Jenis-Jenis Muamalah
Para Ulama Fiqh membagi jenis muamalah menjadi 2 jenis, yaitu:
1.      Muamalah yg hukumnya langsung ditentukan (ditunjuk) oleh Nash (al-Qur`an dan al-Sunnah). Contoh persoalan perdata: warisan, bilangan talak pernikahan, iddah, khluk, rujuk, keharaman (jual) khamar (minuman keras), keharaman riba, keharaman (jual) babi, keharaman (jual) bangkai. Contoh persoalan pidana: hukum pencurian, hukum perzinahan, hukum qazhaf (menuduh orang lain berbuat zina), dll.
2.      Muamalah yg tidak ditunjuk langsung oleh Nash, tetapi diserahkan sepenuhnya kepada hasil ijtihad para Ulama, sesuai dg kreasi para ahli dalam rangka memenuhi kebutuhan umat manusia sepanjang tempat dan zaman, serta sesuai pula dg situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri. Contoh: menerapkan sistem jual beli tanpa proses ijab dan qabul seperti transaksi jual beli di supermarket, minimarket, swalayan, pasar, dll. BAHASA umum yg digunakan oleh nash dalam sistem jual beli adalah kerelaan antara pembeli dan penjual. (Perdalam di Hukum Jual Beli Menurut al-Qur`an dan Hadits)

E.   PERBEDAAN WUDHU DAN TAYAMMUM
Adapun di dalam tayamum, hanya boleh di gunakan untuk satu kali solat fardhu untuk tiap tayamum. Dengan  kata lain, kita harus tayamum lagi ketika masuk waktu solat fardhu yg lain walaupun belum batal. Tapi jika untuk solat sunnah, cukup satu kali tayamum dan boleh digunakan untuk melakukan solat sunnah sebanyak apapun yg diinginkan. Sedangkan wudhu, boleh digunakan untuk melakukan solat fardhu atau sunnah secara berulang-ulang apabila tidak ada hal yang telah membatalkannya atau masih dalam keadaan suci. Selain itu, Wudhu dapat dilaksanakan sebelum masuk waktu salat, sedangkan tayamum tidak boleh dan hanya boleh dilakukan ketika waktu salat telah masuk

F.       HIKMAH KALIMAT SYAHADAT
Syahadat memiliki hikmat tersendiri sebagai penopang iman islam sebagai muslim, syahadat buakan sekedar kalimat yang begitu saja meluncur dari mulut seorang muslim, tetapi syahadat adalah janji, ikrar, dan pernyataan komitmen muslim terhadap islam,
Jika kita merenungkan makna syahadat yang kita sering ucapkan dalah ibadah sholat, sebuah hikma yang indah akan dapat kita petik, hikma syahadat yang sungguh-sungguh tercimin dari perbuatan seseorang, apa bila seseorang meyakinin bahwa Allah SWT satu-satunya tuhan baginya dan Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya maka ia akan menanamkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.
Dengan meyakini bahwa Allah SWT adalah tuhan-Nya, seseorang akan menanamkan pada dirinya sendiri untuk berlindung kepada-Nya, mematuhi perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Dan dengan meyakini Nabi Muhammad SAW  sebagai rasul-Nya seorang mampu berkomitmen untuk meneladani sikap dan prilaku mulia Nabi Muhammad SAW.
Manfaat syahadat sebagai fondasi iman seseorang dan melindugi kita dari kegiatan syirik dan musrik, inti kalimat syhadat yang pertama adalah meyakini bahwa Allah SWT adalah satu-satunya tuhan, dengan memaknainya kita dapat menghindar diri dari perbuata-perbuatan yang menduakan Allah SWT.
Pernyataan dua kalimat syhadat adalah inti dari firman-firma-Nya dari Al-Qur’an, kalimat syahadat mengintisarikan ajaran Al-Qur’an tentang keesaan Tuhan, termasuk meyakini kebesara-Nya dan fakta bahwa tidak ada yang mampu menandigi-Nya.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Sebagai kesimpulan Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) jadi ibadah itu tetap dan mem p[unyai ketetapannya.      muamalah adalah segala peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama, antara manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya.
Wudhu adalah sala satu syarat syah ibadah yang bertuju an untuk mensucikan diri dari najis yang di kerjakan sabelum peribadatan.
Dua kalimat syahadat adalah janji, ikrar, dan pernyataan komitmen muslim terhadap islam,
Pernyataan dua kalimat syhadat adalah inti dari firman-firma-Nya dari Al-Qur’an, kalimat syahadat mengintisarikan ajaran Al-Qur’an tentang keesaan Tuhan, termasuk meyakini kebesara-Nya dan fakta bahwa tidak ada yang mampu menandigi-Nya.


DAFTAR PUSTAKA